Wilayah
Batu Bara telah dihuni oleh penduduk sejak tahun 1720 M, ketika itu di
Batu Bara terdapat 5 (lima) suku penduduk yaitu “Lima Laras, Tanah
Datar, Pesisir, Lima Puluh dan Suku Boga”. Kelima suku tersebut
masing-masing dipimpin oleh seorang Datuk yang juga memimpin wilayah
teritorial tertentu. Ketika itu Batu Bara menjadi bagian dari kerajaan
Siak dan Johor. Untuk mewakili kerajaan Siak dan mengepalai Datuk-Datuk
seluruh Batu Bara diangkat seorang Bendahara secara turun temurun.
Setiap Datuk kepala suku mendapat pengangkatan dan capnya dari Sultan
Siak.
Susunan
pimpinan Batu Bara pada waktu itu ialah Bendahara dan di bawahnya
terdapat sebuah Dewan yang anggota-anggotanya dipilih oleh Datuk-Datuk
kepala suku bersama-sama. Anggota Dewan ini adalah:
1. Seorang Syahbandar, tetap dipilih orang yang berasal dari suku Tanah Datar.
2. Juru Tulis, dipilih yang berasal dari suku Lima Puluh.
3. Mata-Mata, dipilih orang yang berasal dari suku Lima Laras.
4. Penghulu Batangan, dipilih orang yang berasal dari suku Pesisir.
Nama
Batu Bara (Batubahara) sudah tercantum dalam literatur di abad ke-16
yang membayar upeti kepada Haru. Laporan Pemerintah Inggris dari Penang,
Jhon Anderson, mengunjungi Batu Bara pada tahun 1823 dalam bukunya “
Mission to The Eastcoast of Sumatra” sebagai berikut:
|
Menurut
Shadee, dalam bukunya “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust”, pada
permulaan kedatangan Belanda ke Sumatera Timur di tahun 1862, wilayah
Pagurawan dan Tanjong berada langsung di bawah jajahan Datuk Lima Puluh
dari Batu Bara yang kemudian tunduk pula kepada Siak.
Dalam
tahun 1885, Pemerintah Hindia Belanda membayar ganti rugi kepafa
Pemerintah Kerajaan Siak sehingga kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur
Lepas dari kerajaan Siak dan berhubungan langsung dengan Pemerintah
Hindia Belanda yang diikat dengan perjanjian Politik Contract (27
pasal). Perjanjian Politik Contract tersebut meliputi beberapa kerajaan
seperti Langkat, Serdang, Deli, Asahan, Siak, Pelalawan (Riau),
termasuk juga kerajaan-kerajaan kecil seperti Tanah Karo, Simalungun,
Indragiri dan Batu Bara serta Labuhan Batu.
Pada
tahun 1889 residensi Sumatera Timur terbentuk dan beribukota di Medan,
residen Sumatera Timur ini terdiri dari 5 (lima) Afdeling yaitu:
1. Afdeling Deli yang langsung di bawah Residen di Medan.
2. Afdeling Batu Bara berkedudukan di Labuhan Ruku.
3. Afdeling Asahan berkedudukan di Tanjung Balai.
4. Afdeling Labuhan Batu berkedudukan di Labuhan Batu.
5. Afdeling Bengkalis berkedudukan di Bengkalis.
Wilayah
Batu Bara saat itu merupakan Afdeling (Kabupaten) tersendiri beribukota
di Labuhan Ruku di samping Afdeling (Kabupaten) Asahan. Afdeling Batu
Bara itu terdiri dari 8 (delapan) Landschap (setara dengan Kecamatan).
Masing-masing landschap ini dipimpin oleh seorang raja. Di dalam
Afdeling Batu bara termasuk di dalamnya wilayah Batak di perdalaman
(Simalungun). Berdasarkan Sensus Penduduk yang diselenggarakan
Pemerintah Hindia Belanda tahun 1933, penduduk asli Batu Bara berjumlah
32.052 jiwa.
Pada
saat Indonesia merdeka wilayah Batu Bara berubah nama. Sebutan
Landschap menjadi Kecamatan. Khusus Batu Bara lebih dahulu digelar
namanya Kewedanan. Kewedanan Batu Bara beribukota Labuhan Ruku yang
waktu itu membawahi 5 (lima) Kecamatan yaitu: Kecamatan Talawi, Tanjung
Tiram, Lima Puluh, Air Putih dan Medang Deras. Hal ini terjadi hingga 4
(empat) masa kepemimpinan Kewedanan, nama Kewedanan dicabut sehingga
yang ada hanya 5 (lima) kantor camat dan tergabung dengan wilayah Asahan
dengan nama Kabupaten Asahan yang beribukota di Kisaran.
Pada
tahun 1969 masyarakat Batu Bara pernah membentuk Panitia Penuntut
Otonom Batu Bara (PPOB) yang diketuai oleh Abdul Karim AS, seorang tokoh
masyarakat dan pernah menjadi anggota DPRD Asahan. PPOB ini
berkedudukan di Jalan Merdeka Kecamatan Tanjung Tiram, tetapi karena
Undang-Undang Otonomi belum dikeluarkan Pemerintah sehingga perjuangan
ini kandas sebelum berhasil terbentuk Kabupaten Batu Bara yang otonom.
Pada
era reformasi lebih kurang 30 tahun setelah terbakarnya kantor PPOB di
Tanjung Tiram, dengan adanya Ketetapan MPR No.XV/MPR/1998 yang meminta
kepada Presiden untuk dilakukannya penyelenggaraan Otonomi Daerah,
tepatnya pasca lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang semakin mempertegas makna
penyelenggaraan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab serta
membenarkan adanya pemekaran atau pembentukan suatu daerah menjadi lebih
satu daerah, sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 2 yang berbunyi
“Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah”. Undang-Undang
ini menjadi landasan perjuangan masyarakat Batu Bara untuk kembali
menuntut menjadi wilayah Batu Bara menjadi sebuah daerah Kabupaten yang
otonom yang bisa mengatur dirinya sendiri dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya dalam kemandirian.
Badan
Pekerja Persiapan Pembentukan Kabupaten Batu Bara (BP3KB) yang
berkedudukan di Medan berupaya untuk meneliti dan menjajaki lebih lanjut
kemungkinan terbentuknya Kabupaten Batu Bara yang otonom. Sejalan
dengan itu di kecamatan-kecamatan lahir pula gerakan masyarakat yang
menuntut dibentuknya Kabupaten Batu Bara yang menamakan diri sebagai
Gemkara “Gerakan Masyarakat Menuju Kabupaten Batu Bara”.
Kabupaten
Batu Bara akhirnya terbentuk setelah pihak legislative (DPR-RI) dalam
Sidang Paripurna pada hari Jum’at tanggal 8 Desember 2006 membahas
tentang pembentukan Kabupaten Batu Bara dan dinyatakan syah menjadi
sebuah Kabupaten melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kabupaten Batu Bara di Propinsi Sumatera Utara dan Lampiran
Negara Nomor 7 Tahun 2007.
Sumber: Skripsi
Ahmad Akbar, NIM 03310664. Potensi Kabupaten Batu Bara Dalam Penentuan Ibukota Kabupaten. Medan : Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial UNIMED. 2008.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking