Dinsdag 09 April 2013

Istana Niat Lima Laras Batu Bara

http://bappeda.batubarakab.go.id/english/images/stories/istana-lima-laras-2.jpgPeninggalan Kerajaan Melayu yang Terlupakan, Bagi orang-orang tua zaman dulu yang tinggal di Kabupaten Asahan, Tanjungbalai, dan Batu Bara, mungkin sering mendengar atau pun mengunjungi Istana Niat Lima Laras. Istana ini merupakan salah satu peninggalan sejarah kerajaan Melayu di Asahan.

Istana Lima Laras adalah sejarah yang terlupakan. Namanya kalah tenar ketimbang Istana Maimun di Medan. Walau tidak kokoh benar, Istana Lima Laras masih berdiri di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara. Atau sekitar 136 kilometer sebelah tenggara Kota Medan.

Tertarik akan keberadaan bangunan sejarah yang teronggok dan kurang mendapatkan perhatian serius dari Pemkab Asahan, Batu Bara, dan Provinsi Sumatera Utara, akhirnya METRO mencoba untuk menelusuri sejarah tentang awal berdirinya kerajaan ini.

Sepintas dari depan terlihat warna hijau bangunan istana sudah kusam. Istana berlantai empat yang dibangun tahun 1912 itu sudah lapuk dimakan zaman dan kurang menarik lagi dikunjungi. Mungkin karena kondisinya itu juga maka dalam brosur pariwisata Sumatera Utara, Istana Lima Laras tidak tercantum lagi sebagai salah satu objek wisata.

Istana yang berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter ini dibangun Datuk Matyoeda, Raja Kerajaan Lima Laras XII, putra tertua raja sebelumnya, Datuk H Djafar gelar Raja Sri Indra. Semula istana ini bernama Istana Niat, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana untuk kerajaan itu. Sebelumnya pusat pemerintahan kerajaan Lima Laras yang tunduk pada Kesultanan Siak di Riau dan diperkirakan sudah ada sejak abad XVI, sering berpindah-pindah karena belum punya istana permanen.

Jika diperhatikan dari dekat istana ini, sungguh mengagumkan. Semua peralatan untuk membangunnya terdiri dari kayu yang diukir sedemikian rupa. Semua dinding, jendela, pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik, yang pasti dulunya dikerjakan dengan tangan. Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar.

Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.

Sebab itulah Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak tahun 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.

Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia.

Pemimpin-pemimpin pergerakan di Indonesia, mendaulat Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin tertinggi mereka, tetapi pada umumnya perkembangan revolusi di kebanyakan daerah khususnya di Sumatera Utara terlepas dari pergerakan di Jawa. Revolusi di Sumatera bermula pada Oktober 1945 pada saat tentara sekutu tiba di Sumatera untuk melucuti tentara Jepang.

Aktivis-aktivis pergerakan pada mulanya berperang dengan tentara Jepang yang sedang mundur untuk merebut senjata dan dengan tentara Inggris yang menduduki sebagian Kota Medan, Padang dan Palembang dan akhirnya dengan Belanda yang mengambil alih dari Tentara Inggris pada akhir tahun 1945. Pada masa itu, kebencian rakyat semakin meluap karena kebanyakan raja-raja itu dianggap tidak memberikan sokongan kepada pergerakan pro Republik (kecuali Sultan Siak), ditambah lagi tersebar pula kabar bahwa raja-raja itu telah menghubungi Belanda dengan harapan dapat memulihkan kembali kedudukan mereka, begitu juga dengan kerajaan Melayu di Batu Bara.

Pergerakan anti kaum bangsawan kian merebak dan pemimpin republik tidak berkuasa menahannya. Dalam pada itu, beberapa pemimpin politik yang opportunis, dua di antaranya adalah Karim Marah Sutan dan Luat Siregar dari Partai Komunis Indonesia, menggunakan pergerakan anti kaum bangsawan ini sebagai landasan untuk memperkuat landasan kekuatan politik mereka.

Untuk mencapai tujuan ini, mereka membangkitkan sentimen rakyat sampai akhirnya tercetuslah Revolusi Sosial di mana raja-raja dan keluarganya dibunuh beramai-ramai dengan kejam dan hartanya dirampas. Selain dari para bangsawan, para perusuh juga membunuh kalangan profesional yang berpendidikan barat, terutama mereka yang hidup mengkuti gaya hidup barat.

Oleh karena itu, beberapa orang pro nasionalis dan keluarganya juga turut dibunuh. Di dalam kemelut ini, keganasan dialihkan pula kepada golongan tradisional (Tengku dan Raja) yang selama ini dianggap oleh golongan petani sebagai pro Belanda dan pro kolonial. Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda. Namun di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.

Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhan Batu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhan Batu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan sehingga tidak dapat dilindungi oleh pasukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).

Masa Agresi Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.

Istana Lima Laras yang menghadap selatan itu memiliki empat anjungan di ke empat arah mata angin. Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi-kisinya. Tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.

Lantai pertama yang terbuat dari beton, dilengkapi balai rung atau tempat bermusyawarah. Di lantai dua dan tiga terdapat kamar-kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Total, istana ini memiliki 28 pintu dan 66 pasang jendela. Untuk naik ke tingkat dua dan tiga, selain tangga biasa di bagian luar, ada tangga berputar dengan 27 anak tangga dari bagian dalam.

Jika berkunjung ke istana itu sekarang ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga sudah hilang dan bagian tengah telah putus karena lapuk. Jangan berharap juga bisa melihat bekas singgasana atau peralatan tanda kemegahan kerajaan itu pada masa lampau, sebab sebagian besar perlengkapan istana sudah hancur atau raib. Datuk Muhammad Azminsyah (62), salah seorang cucu Datuk Matyoeda, beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan istana.

Seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah-belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan dicat.

Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa. Menurut Maddin (70), yang sehari-hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. ?Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran ini, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang,? kata Maddin yang menyatakan bisa mengumpulkan Rp30 ribu pada lebaran kedua.

Renovasi terakhir yang dilakukan pemerintah tahun 1980-1981 dengan biaya Rp234 juta, saat masih dikelola Kanwil Depdikbud Sumut. Setelah diserahkan ke Pemda Asahan sejak 14 September 1990, praktis tidak ada perbaikan apapun lagi. Padahal upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya. Istana Lima Laras tak lagi dihuni. Malam hari, tak ada penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih.(ASN)Peninggalan Kerajaan Melayu yang Terlupakan, Bagi orang-orang tua zaman dulu yang tinggal di Kabupaten Asahan, Tanjungbalai, dan Batu Bara, mungkin sering mendengar atau pun mengunjungi Istana Niat Lima Laras. Istana ini merupakan salah satu peninggalan sejarah kerajaan Melayu di Asahan.

Istana Lima Laras adalah sejarah yang terlupakan. Namanya kalah tenar ketimbang Istana Maimun di Medan. Walau tidak kokoh benar, Istana Lima Laras masih berdiri di Desa Lima Laras, Kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Batu Bara. Atau sekitar 136 kilometer sebelah tenggara Kota Medan.

Tertarik akan keberadaan bangunan sejarah yang teronggok dan kurang mendapatkan perhatian serius dari Pemkab Asahan, Batu Bara, dan Provinsi Sumatera Utara, akhirnya METRO mencoba untuk menelusuri sejarah tentang awal berdirinya kerajaan ini.

Sepintas dari depan terlihat warna hijau bangunan istana sudah kusam. Istana berlantai empat yang dibangun tahun 1912 itu sudah lapuk dimakan zaman dan kurang menarik lagi dikunjungi. Mungkin karena kondisinya itu juga maka dalam brosur pariwisata Sumatera Utara, Istana Lima Laras tidak tercantum lagi sebagai salah satu objek wisata.

Istana yang berada di atas tanah seluas 102 x 98 meter ini dibangun Datuk Matyoeda, Raja Kerajaan Lima Laras XII, putra tertua raja sebelumnya, Datuk H Djafar gelar Raja Sri Indra. Semula istana ini bernama Istana Niat, karena rencana pembangunannya berdasarkan niat Matyoeda untuk mendirikan sebuah istana untuk kerajaan itu. Sebelumnya pusat pemerintahan kerajaan Lima Laras yang tunduk pada Kesultanan Siak di Riau dan diperkirakan sudah ada sejak abad XVI, sering berpindah-pindah karena belum punya istana permanen.

Jika diperhatikan dari dekat istana ini, sungguh mengagumkan. Semua peralatan untuk membangunnya terdiri dari kayu yang diukir sedemikian rupa. Semua dinding, jendela, pintu, bentuknya sangat unik dan menakjubkan karena penuh dengan lukisan dan ukiran yang cantik, yang pasti dulunya dikerjakan dengan tangan. Niat Datuk Matyoeda untuk mendirikan istana bermula dari keputusan Belanda yang melarang para raja berdagang. Tidak jelas alasan larangan ini. Matyoeda yang kerap berdagang ke Malaysia, Singapura dan Thailand dan memiliki kapal besar tentu saja gusar.

Apalagi pada saat keputusan keluar, beberapa armada dagangnya sedang berlayar ke Malaysia. Dengan adanya larangan ini, nasib kapal bersama isinya itu tidak terjamin lagi. Bisa disita Belanda setibanya kembali di Asahan, atau bisa tetap tinggal di Malaysia yang dulu masih bernama Malaka.

Sebab itulah Matyoeda berniat, jika dagangan terakhirnya selamat, hasilnya akan digunakan membangun istana. Rupanya kapalnya kembali dengan selamat. Maka dia kemudian membangun istana itu dengan biaya 150.000 gulden dan memimpin langsung pembangunan istana dengan mendatangkan 80 orang tenaga ahli dari China dan Pulau Penang, Malaysia serta sejumlah tukang dari sekitar lokasi pembangunan istana. Matyoeda bersama keluarga dan unsur pemerintahannya mendiami istana sejak tahun 1917, walaupun pada saat itu istana masih belum rampung. Waktu wafatnya pada 7 Juni 1919, sekaligus penanda berakhirnya masa kejayaan kerajaan Lima Laras. Tahun 1942 tentara Jepang masuk Asahan dan menguasai istana.

Kekuasaan Jepang di Indonesia sejak Maret 1942 hingga 1945 mengakibatkan keadaan yang semakin carut-marut. Tiga hari setelah jatuhnya bom di Hiroshima, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Di saat yang sama pula, diumumkanlah pemerintah Republik Indonesia dengan Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakilnya. Dengan demikian, dimulailah revolusi republik di seluruh wilayah Indonesia.

Pemimpin-pemimpin pergerakan di Indonesia, mendaulat Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin tertinggi mereka, tetapi pada umumnya perkembangan revolusi di kebanyakan daerah khususnya di Sumatera Utara terlepas dari pergerakan di Jawa. Revolusi di Sumatera bermula pada Oktober 1945 pada saat tentara sekutu tiba di Sumatera untuk melucuti tentara Jepang.

Aktivis-aktivis pergerakan pada mulanya berperang dengan tentara Jepang yang sedang mundur untuk merebut senjata dan dengan tentara Inggris yang menduduki sebagian Kota Medan, Padang dan Palembang dan akhirnya dengan Belanda yang mengambil alih dari Tentara Inggris pada akhir tahun 1945. Pada masa itu, kebencian rakyat semakin meluap karena kebanyakan raja-raja itu dianggap tidak memberikan sokongan kepada pergerakan pro Republik (kecuali Sultan Siak), ditambah lagi tersebar pula kabar bahwa raja-raja itu telah menghubungi Belanda dengan harapan dapat memulihkan kembali kedudukan mereka, begitu juga dengan kerajaan Melayu di Batu Bara.

Pergerakan anti kaum bangsawan kian merebak dan pemimpin republik tidak berkuasa menahannya. Dalam pada itu, beberapa pemimpin politik yang opportunis, dua di antaranya adalah Karim Marah Sutan dan Luat Siregar dari Partai Komunis Indonesia, menggunakan pergerakan anti kaum bangsawan ini sebagai landasan untuk memperkuat landasan kekuatan politik mereka.

Untuk mencapai tujuan ini, mereka membangkitkan sentimen rakyat sampai akhirnya tercetuslah Revolusi Sosial di mana raja-raja dan keluarganya dibunuh beramai-ramai dengan kejam dan hartanya dirampas. Selain dari para bangsawan, para perusuh juga membunuh kalangan profesional yang berpendidikan barat, terutama mereka yang hidup mengkuti gaya hidup barat.

Oleh karena itu, beberapa orang pro nasionalis dan keluarganya juga turut dibunuh. Di dalam kemelut ini, keganasan dialihkan pula kepada golongan tradisional (Tengku dan Raja) yang selama ini dianggap oleh golongan petani sebagai pro Belanda dan pro kolonial. Keluarga Kesultanan Deli dan Serdang terselamatkan berkat penjagaan tentara Sekutu yang sedang bertugas di Medan untuk menerima penyerahan dari Jepang. Sementara di Serdang, beberapa orang keluarga raja sedari awal telah mendukung rakyat menentang Belanda. Namun di Langkat, Istana Sultan dan rumah-rumah kerabat diserang dan rajanya dibunuh bersama keluarganya termasuklah penyair besar Indonesia, Tengku Amir Hamzah yang dipancung di Kuala Begumit.

Keganasan yang paling dahsyat terjadi pada bulan Maret 1946 di Asahan dan di kerajaan-kerajaan Melayu di Labuhan Batu seperti Kualuh, Panai dan Kota Pinang. Di Labuhan Batu, daerah yang paling jauh dengan Kota Medan sehingga tidak dapat dilindungi oleh pasukan sekutu. Istana raja dikepung dan raja-rajanya pun dibunuh seperti Yang Dipertuan Tengku Al Haji Muhammad Syah (Kualuh), Sultan Bidar Alam Syah IV (Bilah), Sultan Mahmud Aman Gagar Alam Syah (Panai) dan Tengku Mustafa gelar Yang Dipertuan Besar Makmur Perkasa Alam Syah (Kota Pinang).

Masa Agresi Militer II, istana Lima Laras kembali ke tangan Republik dan ditempati Angkatan Laut Republik Indonesia di bawah pimpinan Mayor Dahrif Nasution.

Istana Lima Laras yang menghadap selatan itu memiliki empat anjungan di ke empat arah mata angin. Di depannya ada bangunan kecil tempat dua meriam berada. Hampir keseluruhan bangunan berarsitektur Melayu, terutama pada model atap dan kisi-kisinya. Tetapi ada juga beberapa bagian istana berornamen China. Kecuali batu bata, bahan bangunan seperti kaca untuk jendela dan pintu didatangkan dari luar negeri.

Lantai pertama yang terbuat dari beton, dilengkapi balai rung atau tempat bermusyawarah. Di lantai dua dan tiga terdapat kamar-kamar dengan ukuran sekitar 6 x 5 meter. Total, istana ini memiliki 28 pintu dan 66 pasang jendela. Untuk naik ke tingkat dua dan tiga, selain tangga biasa di bagian luar, ada tangga berputar dengan 27 anak tangga dari bagian dalam.

Jika berkunjung ke istana itu sekarang ini, jangan bayangkan masih bisa melihat tangga putar itu masih utuh. Beberapa anak tangga sudah hilang dan bagian tengah telah putus karena lapuk. Jangan berharap juga bisa melihat bekas singgasana atau peralatan tanda kemegahan kerajaan itu pada masa lampau, sebab sebagian besar perlengkapan istana sudah hancur atau raib. Datuk Muhammad Azminsyah (62), salah seorang cucu Datuk Matyoeda, beruntung masih menyimpan beberapa barang pusaka perlengkapan istana.

Seperti tempayan besar dengan ukiran naga, sejumlah barang pecah-belah, dua buah pedang dan sebuah tombak. Barang itu disimpan di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari istana. Istana Lima Laras sekarang ini memang tengah dalam tahap perbaikan. Lantai satu dan dua bagian belakang istana sudah diperbaiki dan dicat.

Perbaikan kecil itu sifatnya hanya menunda kehancuran, sebab bangunan utama di bagian depan masih berantakan. Dinding-dinding sudah bercopotan papannya, demikian juga atap dan lantai. Beberapa tiang penyangga yang terbuat dari kayu pun bernasib serupa. Menurut Maddin (70), yang sehari-hari menjaga istana tersebut, biaya perbaikan itu berasal dari pihak keluarga. ?Bantuan pemerintah sudah lama tidak ada. Kalau hari-hari libur seperti lebaran ini, ada tambahan biaya perbaikan dari kutipan masuk Rp500 per orang,? kata Maddin yang menyatakan bisa mengumpulkan Rp30 ribu pada lebaran kedua.

Renovasi terakhir yang dilakukan pemerintah tahun 1980-1981 dengan biaya Rp234 juta, saat masih dikelola Kanwil Depdikbud Sumut. Setelah diserahkan ke Pemda Asahan sejak 14 September 1990, praktis tidak ada perbaikan apapun lagi. Padahal upaya melestarikan istana sangat penting mengingat sejarah dan nilai budaya yang dikandungnya. Istana Lima Laras tak lagi dihuni. Malam hari, tak ada penerangan berarti. Halaman istana juga ditumbuhi semak yang tingginya bisa mencapai satu meter lebih.(ASN)

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking